Sejak 1995, Sukamdani (85) sudah mulai melepas kegiatan bisnisnya dan menyerahkan kepada anak-anaknya. Dalam wawancara dengan Kompas yang didampingi istrinya, Juliah, ia menuturkan kini hari-harinya diisi dengan senam dan mengurus pesantren.
Bagaimana Anda memulai bisnis?
Menjadi
pengusaha adalah cita-cita saya sejak masih zaman perang. Tahun 1945,
saat perang tidak ada logistik. Saya berpikir bagaimana memberi makan
tentara walaupun saat itu didukung rakyat.
Lalu saya berpikir
mengumpulkan kain batik rakyat untuk ditukar dengan beras. Beras itu
untuk makan tentara. Saat berperang tahun 1948-1950, saya juga jadi
pengusaha. Tentara butuh makanan, lalu cari gaplek di Wonogiri dan
kemudian gaplek ini ditukar dengan beras.
Bisnis di Jakarta?
Setelah
perang, saya kembali bersekolah. Kemudian tahun 1952 pindah ke Jakarta
dan mulai jadi pegawai negeri sipil di Kementerian Dalam Negeri. Tapi
tidak kerasan. Saya ingin jadi pemimpin, lalu pindah menjadi pegawai
swasta, namun saya juga sudah merintis usaha kecil-kecilan. Pada 27 Mei
1953, saya menikah dengan Juliah. Pada 1 Juni tahun yang sama saya
menyewa tempat ini (Grand Sahid Jaya Hotel di Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta). Istri mendukung untuk berwirausaha dengan membuat percetakan.
Saya membeli dua alat percetakan dari tabungan. Juliah ini anak orang
berada, tapi tetap mau berusaha.
Bisnis ini kemudian besar?
Saya
senang berorganisasi. Dari usaha grafika, saya berinisiatif bikin
kongres perusahaan percetakan Indonesia pada Juli 1956. Karena
berorganisasi ini saya bertemu dengan Presiden Soekarno. Saya melihat
hubungan dengan Presiden harus dibina. Bisnis percetakan bisa berkembang
baik karena saat peralihan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta banyak
buku dan dokumen pemerintah yang harus dicetak. Saya mendapat banyak
order. Bahkan order saya limpahkan ke Bandung, Semarang, hingga
Surabaya. Saya dikenal pintar cari order.
Bila kemudian bisnis perhotelan, asal usulnya darimana?
Ceritanya,
saya pernah terdampar di di Medan pada tahun 1960 karena penerbangan
yang sedikit dan selalu penuh. Saya menginap di hotel cukup lama. Dari
kejadian ini, saya berpikir bisnis hotel pasti dibutuhkan oleh negara
yang baru merdeka. Saya memulai bisnis hotel di Solo. Investasi hotel
dari usaha dagang kertas dan percetakan. Untuk membangun hotel, saat itu
susah cari semen. Akhirnya saya beli semen selundupan.
Bagaimana kisah Anda memasuki dunia pendidikan?
Saya
masuk ke dunia pendidikan dengan mendirikan Akademi Grafika tahun
1965, lalu membuat Sekolah Tinggi Grafika. Kemudian mendirikan
Universitas Veteran Bangun Nusantara di Sukoharjo melalui Yayasan
Kesejahteraan Pendidikan dan Sosial Sahid Jaya. Prinsipnya
kesejahteraan untuk karyawan, pendidikan untuk masyarakat luas, dan
pengabdian sosial untuk masyarakat. Kemudian Akademi Perhotelan pada
1988, lalu membikin Universitas Sahid.
Bagaimana dengan regenerasi Sahid Group?
Saya
sudah memulai regenerasi pada tahun 1990-an, namun pada 1997 terjadi
krisis. Anak-anak sempat gamang. Utang dalam negeri dan luar negeri
menumpuk. Saya memimpin lagi, namun tidak lama karena pada 2002 saya
serahkan kembali ke anak-anak. Tahun 2008 semua utang sudah selesai.
Kunci sukses dalam berbisnis?
Pertama
adalah jujur, yaitu jujur kepada Tuhan dan diri sendiri. Kemudian
disiplin mengatur waktu dan teguh menuju target yang akan dicapai.
Ketiga, bertanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain. Keempat,
kerja keras. Kelima, berprestasi yang direstui Allah dan didukung orang
lain.
Falsafah Anda dalam berbisnis?
Hidup harus
bisa menghidupi orang lain, artinya membuka lapangan kerja. Tidak
serakah. Bisnis itu untuk kesejahteraan. Mengembangkan uang yang
didapat untuk membuka lapangan kerja agar orang lain juga bisa
berkembang. Bisnis adalah kesempatan mengembangkan uang agar orang lain
bisa mendapat nafkah, mendapat rumah, dan mendapat pendidikan. Bisnis
itu berkah bagi kita dan bagi orang lain.
Apa yang Anda lakukan dalam keseharian sekarang ini?
Dulu
saya suka main golf, tetapi saya dan istri sekarang sering senam. Saya
mengurus pesantren di Bogor. Indonesia dengan penduduk yang beragama
Islam lebih dari 200 juta harus memiliki wirausahawan yang tangguh. Saya
minta santri menjadi pengusaha. Di dalam pesantren, saya menumbuhkan
etos kerja keras dan etos keilmuan. Santri harus selalu belajar. Dari
kegiatan ini saya ingin menyiapkan kader bangsa berbudi agar bisa
menghidupi keluarga dan bangsa.
Bagaiamana Anda melihat kondisi bangsa?
Secara
ekonomi dan pendidikan sekarang lebih maju, tetapi secara moral bangsa
ini mengalami kemunduran karena tidak lagi mengingat Pancasila. Budaya
sudah dilupakan sehingga bangsa ini tidak berkarakter. Eforia
reformasi harus segera diakhiri. Penegakan hukum harus dilakukan. (M Clara Wresti & Andreas Maryoto)
Kamis, 13 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.